Akhir Kala Orde Baru
Panjang Tahap (PJPT) ke-2, Indonesia mengatakan kemajuan yang sangat pesat di segala bidang kehidupan. Sejak tahun 1982 dengan pendapatan perkapita 600 dollar AS pertahun dengan laju peningkatan ekonomi sebesar 7 % pertahun, dan tingkat inflasi yang rata-rata di bawah 10 % (Inflasi masa ORLA sebesar 600 %), Indonesia sudah digolongkan sebagai negara berpendapatan menengah. Indonesia tercatat sebagai negara yang paling berhasil meningkatkan swasembada pangan pada tahun 1986. Pemerataan pendidikan melalui proyek inpres berhasil meningkatkan tingkat melek abjad hingga 90% pada tahun 1990-an. Hal tersebut didukung oleh agenda kependudukan KB yang berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya kurang dari 2 %.
Kemajuan-kemajuan tersebut tidak disertai dengan pemerataan kesejahteraan rakyat yang menyeluruh. Peningkatan kesejahteraan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Hal itu ditandai dengan munculnya pengusaha-pengusaha besar setingkat konglomerat yang menjadi besar alasannya yakni kedekatannya dengan sumbu kekuasaan. Hal tersebut menjadikan kesenjangan sosial ekonomi antara si kaya dengan si miskin makin melebar.
Memasuki dekade 1990-an, selain hal tersebut di atas ketimpangan kesejahteraan sentra dan kawasan pun semakin menjadi warta utama yang semakin mencuat saja ke permukaan. Hal tersebut terjadi alasannya yakni kawasan merasa diperlakukan tidak adil oleh pusat, yaitu dengan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap potensi sumber daya alam di kawasan oleh pusat, tanpa berdampak pada peningkatan kesejahteraan bagi kawasan tersebut. Pembangunan pesat yang bergantung pada kekuatan hutang luar negeri dan praktek KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme) yang menandai berjalannya segala sendi kehidupan pada masa Orde Baru telah mengantarkan Indonesia pada suatu krisis multidimensional.
Krisis ekonomi yang mengawali krisis yang berkepanjangan di Indonesia ini pada tahun 1997 gotong royong menimpa negara-negara Asia lainnya menyerupai Thailand dan Korea Selatan. Kekompakan dan semangat rela berkorban pemerintah dan rakyatnyalah yang dalam tempo yang tidak terlalu usang telah menyelamatkan kedua negara tersebut lepas dari cengkeraman krisis. Berlainan dengan yang dialami Indonesia yang semakin usang semakin terpuruk untuk kemudian memasuki dimensi krisis lainnya yang lebih rumit dan kompleks.
Jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS yang pada bulan Juli 1997 menandai Krisis ekonomi di Indonesia. Nilai tukar 1 Dollar AS sama dengan Rp.2.678,-, pada bulan Januari 1998 merosot tajam hingga dengan Rp.11.000,- per Dollarnya. Hal itu berdampak pada harga-harga yang melambung jauh meninggalkan daya beli masyarakat yang semakin hari semakin melemah. Pendapatan perkapita yang pada dekade 1980-an telah mencapai 600 Dollar AS (termasuk golongan negara berkembang alasannya yakni pendapatan perkapita > 500 Dollar AS), jatuh hingga 400 dollar AS. Sehingga Indonesia kembali digolongkan negara miskin, alasannya yakni berpendapatan perkapita < 500 dollar AS.
Dampak lainnya dari jatuhnya nilai Rupiah terhadap Dollar AS tersebut mengakibatkan hutang negara dan swasta yang bersandar pada mata uang dollar AS meningkat berlipatganda. Pemerintah segera mengambil langkah-langkah pemulihan ekonomi Indonesia. Salah satu langkah terbesar yang penuh dengan resiko yang diambil pemerintah Orde Baru yakni dengan meningkatkan jumlah suplemen Hutang Negara guna menutupi akumulasi hutang negara sebelumnya. Hutang di kalangan swasta mengakibatkan banyak pabrik dan perusahaan yang gulung tikar, serta menjalankan rasionalisasi perusahaan dengan cara melaksanakan PHK besar-besaran. Pengangguran dan kemiskinan mengalami peningkatan yang luar biasa, sehingga jumlah orang miskin di Indonesia jawaban krisis ini mencapai angka 50 juta orang.
Dana perbankan yang dipakai untuk memutar roda perjuangan menjelma kredit macet. Hal tersebut terjadi alasannya yakni ketidakmampuan dunia perjuangan memutar dan mengembalikan dana tersebut kepada Bank-Bank kreditor, sehingga dengan demikian bank-bank tersebut tidak sanggup menagih bunga apalagi pokok kredit perjuangan dari para peminjam (dunia usaha). Akibatnya dunia perbankan pun terpukul dan usahanya pun mengalami stagnasi, sehingga banyak bank yang dikategorikan bermasalah. Untuk mengatasinya, Pemerintah melaksanakan likuidasi bank-bank bermasalah tersebut (kurang lebih 40 bank yang bermasalah) dan merumahkan ribuan karyawannya.
Pemerintah Presiden Soeharto mengambil langkah menyelamatkan kondisi ekonomi Negara pada ketika itu dengan memperbesar beban hutang negara dengan suplemen derma gres kepada IMF sebesar 40 milyar dollar AS. Sudah barang tentu undangan derma tersebut disetujui IMF dengan disertai persyaratan-persyaratan rumit yang mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Akibatnya Indonesia makin terpuruk sehingga kemudian berubah dari bangsa yang berdaulat dan disegani bangsa-bangsa lainnya di dunia ini, menjadi bangsa yang harus tunduk pada kendali bangsa lain. Kondisi tersebut yang diperburuk dengan maraknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di semua lini kehidupan, menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat. Hal tersebut pula yang mendorong kaum intelektual untuk menyuarakan tuntutan perubahan (yang kemudian dikenal sebagai reformasi) semoga keluar dari belenggu krisis multidimensional tersebut. Karena kebebasan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi oleh pemerintah orde baru, maka kaum intelektual yang dimotori oleh para mahasiswa turun ke jalan untuk melaksanakan agresi unjuk rasa (demonstrasi).
Turunnya mahasiswa ke jalan menyuarakan aspirasi masyarakat luas tersebut mungkin tidak akan terjadi, bila forum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pengontrol forum direktur berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak di bawah dikte kekuatan rezim penguasa mana pun.
Baca Juga : Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966 hingga dengan 1998
Baca Juga : Indonesia Pada Masa Orde Baru 1966 hingga dengan 1998
Belum ada Komentar untuk "Akhir Kala Orde Baru"
Posting Komentar