Beberapa Insiden Penting Yang Menjadikan Munculnya Kebijakan Keras Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia
Setiap organisasi pergerakan nasional yang tumbuh di Indonesia memiliki kegiatan yang berbeda, diadaptasi dengan sifat perjuangan, tujuan, dan cita-citanya. Dari kegiatannya itu, adakalanya suatu organisasi sanggup terus berkembang, tetapi adaa pula yang sebaliknya dengan mengalami kemunduran, bahkan eksklusif mati (tidak berkembang). Bagi organisasi organisasi yang mengambil perilaku kooperatif, moderat, dan tidak membahayakan kedudukan Kolonial, maka pemerintah Kolonial memberi keleluasaan pada organisasi yang bersangkutan untuk melaksanakan banyak sekali acara organisasinya. Mereka diberi izin untuk berdiri, tumbuh, dan berkembang, sepanjang ativitasnya tidak mengganggu atau mengancam kedudukan Kolonial di Indonesia. Pihak Kolonial sanggup memperlihatkan tubuh aturan sehingga pergerakannya tidak dianggap ilegal. Dengan adanya tubuh aturan itu, pergerakan organisasi yang kooperatif sanggup terus berkembang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pada masa pergerakan tersebut, secara umum pemerintah Kolonial memandang kehadiran pergerakan nasional dianggap tidak berbahaya, salah satunya alasannya kooperatif, tidak tidak radikal, dan loyal kepada pemerintah Kolonial. Namun, pada kenyataannya tidak semua pandangan pemerintah Kolonial semuanya benar. Belanda sering terkecoh dengan perilaku kooperatif yang ditampilkan oleh banyak sekali organisasi pergerakan, terutama saat menyoroti duduk perkara tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi, contohnya yang terjadi pada SI. Tujuan SI semula memang ingin menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, khususnya pedagang Islam Jawa dan memperkuat ekonominya biar bisa bersaing dengan bangsa asing. Tujuan yang dicanangkan SI ini awalnya tidak dianggap berbahaya, namun seiring dengan perkembangannya SI tumbuh menjadi organisasi raksasa. Pemerintah Hindia Belanda mencermati SI dan menganggap berbahaya alasannya bisa memobilisasi massa. Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) yang tidak menolak kehadiran SI menerima reaksi dari orang-orang Belanda dengan menyampaikan bahwa SI itu identik dengan “Salah Idenburg”. Bagi Idenburg, melarang begitu saja tidak ada gunanya, apalagi dengan tekanan dan penindasan. Untuk mengurangi suatu kekuatan besar yang sanggup menghancurkan eksistensi pemerintah, Idenburg hanya memperlihatkan tubuh aturan kepada cabang-cabang SI, sedangkan Central Sarekat Islam (CSI) tidak akan diberikan dengan maksud biar korelasi antar cabang dan sentra sanggup diperlemah.
Sikap dan tindakan politik organisasi pergerakan yang berbeda-beda, menciptakan pemerintah Kolonial berbeda pula dalam menangapi setiap pergerakan yang ada. Pemerintah Kolonial bersikap hati-hati dan tidak menaruh rasa curiga yang berlebihan terhadap organisasi pergerakan yang memperlihatkan perilaku kooperatif, menyerupai BU dan PI. Tetapi bersikap keras dan tegas, bahkan melaksanakan tindakan pembubaran kepada beberapa organisasi, menyerupai IP yang secara terang-terangan menentang pihak pemerintah Kolonial. Ipdilalarng dan dibubarkan sebelum harapan perjuangannya tercapai. Permohonan IP untuk mendapatkan tubuh aturan ditolak bahkan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tindakan Idenburg itu dilakukan sesudah tokoh-tokoh dalam IP menciptakan kritikan pedas terhadap pemerintah yang akan merayakan ulang tahun ke-100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Menurut mereka sungguh ironis jikalau pesta itu harus didanai dari pajak yang ditarik dari orang bumiputera dan merayakannya di negara yang sedang dijajah. Kritikan terhadap pemerintah dibalas dengan membuang tokoh-tokoh IP yang tergabung dalam Tiga Serangkai ke banyak sekali tempat.
Sikap keras pemerintah Kolonial tampak pula dalam menghadapi PKI, suatu partai yang menerima kekuatan dari kalangan buruh yang tergabung Vereeniging voor Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) dan SI. Pada tahun 1923 mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah, tetapi gagal dan pemimpinnya dibuang. Mulai tahun 1924, PKI membuatkan pengaruhnya ke masyarakat luas untuk menyiapkan gerakan revolusi dengan cara memberontak. Sikap itu diambil PKI alasannya cara tersebut dianggapnya lebih baik daripada mendapatkan dominasi kekuatan Kolonial. Akhirnya, mulai tahun 1926-1927, terjadi pemogokan dan pemberontakan PKI di Banten, Jakarta, Jawa Tengah, dan Minangkabau. Pemberontakan itu sanggup ditumpas oleh pemerintah alasannya pemberontakan itu bersipat lokal dan tidak terorganisir dengan baik. Kurang lebih 13.000 angota PKI ditangkap, dihukum, dan dibuang. Khusus kader-kader dibuang ke Boven Digul. Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Jika diperhatikan, periode radikal dari tahun 1918-1927 yang dikoordinasikan oleh komunis nampaknya dipengaruhi oleh perkembangan politik yang diperankan kelompok sosial demokrat Belanda dalam ISDV. Selain itu pasca Perang Dunia I yang memperburuk perekonomian dan penderitaan rakyat, menciptakan rakyat berani melaksanakan agresi sebagai reaksi terhadap keadaan jelek tersebut. Dengan kondisi yang demikian, gubernur jenderal menyerupai Fock (1921-1926) dan Graeff (1926-1931) bersikap reaksioner terhadap pergerakan nasional pada waktu itu. Hal tersebut tentu saja berakibat pada mundurnya pergerakan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno menerima reaksi dari pemerintah Kolonial dengan menuduh bahwa PNI akan melaksanakan pemberontakan menyerupai halnya PKI. Mereka kemudian menggeladah rumah para pemimpin PNI dan menangkapnya. Dalam pembelaan di sidang Pengadilan Negeri Bandung, Soekarno melaksanakan pembelaan dengan judul “Indonesia Menggugat’.
Kebijakan keras pemerintah Hindia Belanda terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia telah menerangkan bahwa bangsa Belanda tidak menginginkan Indonesia sanggup meraih kemerdekaan. Untuk itu segala upaya dari pergerakan nasional yang berusaha mencapai kemerdekaan bangsanya segera ditindak sebelum organisasi itu berkembang dengan pesat. Namun, apabila pergerakan nasional itu kooperatif dan tidak membahayakan kepentingan dan kedudukan mereka sebagai penjajah, maka organisasi itu akan dibiarkan hidup dan berkembang, meskipun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Sikap dan tindakan politik organisasi pergerakan yang berbeda-beda, menciptakan pemerintah Kolonial berbeda pula dalam menangapi setiap pergerakan yang ada. Pemerintah Kolonial bersikap hati-hati dan tidak menaruh rasa curiga yang berlebihan terhadap organisasi pergerakan yang memperlihatkan perilaku kooperatif, menyerupai BU dan PI. Tetapi bersikap keras dan tegas, bahkan melaksanakan tindakan pembubaran kepada beberapa organisasi, menyerupai IP yang secara terang-terangan menentang pihak pemerintah Kolonial. Ipdilalarng dan dibubarkan sebelum harapan perjuangannya tercapai. Permohonan IP untuk mendapatkan tubuh aturan ditolak bahkan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tindakan Idenburg itu dilakukan sesudah tokoh-tokoh dalam IP menciptakan kritikan pedas terhadap pemerintah yang akan merayakan ulang tahun ke-100 kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Menurut mereka sungguh ironis jikalau pesta itu harus didanai dari pajak yang ditarik dari orang bumiputera dan merayakannya di negara yang sedang dijajah. Kritikan terhadap pemerintah dibalas dengan membuang tokoh-tokoh IP yang tergabung dalam Tiga Serangkai ke banyak sekali tempat.
Sikap keras pemerintah Kolonial tampak pula dalam menghadapi PKI, suatu partai yang menerima kekuatan dari kalangan buruh yang tergabung Vereeniging voor Spoor en Tramwegpersoneel (VSTP) dan SI. Pada tahun 1923 mereka melaksanakan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah, tetapi gagal dan pemimpinnya dibuang. Mulai tahun 1924, PKI membuatkan pengaruhnya ke masyarakat luas untuk menyiapkan gerakan revolusi dengan cara memberontak. Sikap itu diambil PKI alasannya cara tersebut dianggapnya lebih baik daripada mendapatkan dominasi kekuatan Kolonial. Akhirnya, mulai tahun 1926-1927, terjadi pemogokan dan pemberontakan PKI di Banten, Jakarta, Jawa Tengah, dan Minangkabau. Pemberontakan itu sanggup ditumpas oleh pemerintah alasannya pemberontakan itu bersipat lokal dan tidak terorganisir dengan baik. Kurang lebih 13.000 angota PKI ditangkap, dihukum, dan dibuang. Khusus kader-kader dibuang ke Boven Digul. Akhirnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Jika diperhatikan, periode radikal dari tahun 1918-1927 yang dikoordinasikan oleh komunis nampaknya dipengaruhi oleh perkembangan politik yang diperankan kelompok sosial demokrat Belanda dalam ISDV. Selain itu pasca Perang Dunia I yang memperburuk perekonomian dan penderitaan rakyat, menciptakan rakyat berani melaksanakan agresi sebagai reaksi terhadap keadaan jelek tersebut. Dengan kondisi yang demikian, gubernur jenderal menyerupai Fock (1921-1926) dan Graeff (1926-1931) bersikap reaksioner terhadap pergerakan nasional pada waktu itu. Hal tersebut tentu saja berakibat pada mundurnya pergerakan nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno menerima reaksi dari pemerintah Kolonial dengan menuduh bahwa PNI akan melaksanakan pemberontakan menyerupai halnya PKI. Mereka kemudian menggeladah rumah para pemimpin PNI dan menangkapnya. Dalam pembelaan di sidang Pengadilan Negeri Bandung, Soekarno melaksanakan pembelaan dengan judul “Indonesia Menggugat’.
Kebijakan keras pemerintah Hindia Belanda terhadap pergerakan kebangsaan Indonesia telah menerangkan bahwa bangsa Belanda tidak menginginkan Indonesia sanggup meraih kemerdekaan. Untuk itu segala upaya dari pergerakan nasional yang berusaha mencapai kemerdekaan bangsanya segera ditindak sebelum organisasi itu berkembang dengan pesat. Namun, apabila pergerakan nasional itu kooperatif dan tidak membahayakan kepentingan dan kedudukan mereka sebagai penjajah, maka organisasi itu akan dibiarkan hidup dan berkembang, meskipun dengan pengawasan yang sangat ketat.
Belum ada Komentar untuk "Beberapa Insiden Penting Yang Menjadikan Munculnya Kebijakan Keras Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia"
Posting Komentar