Landasan Teori Pembelajaran Bahasa Indonesia Secara Terpadu
Dalam setiap pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar, seorang guru harus mempertimbangkan banyak faktor. Selain lantaran pembelajaran itu intinya merupakan implementasi dari kurikulum yang berlaku, juga selalu membutuhkan landasan-landasan yang besar lengan berkuasa dan didasarkan atas hasil-hasil pemikiran yang mendalam. Pembelajaran pada hakikatnya menempati posisi/kedudukan yang sangat strategis dalam keseluruhan acara pendidikan, dalam arti akan sangat menjadi penentu terhadap keberhasilan pendidikan. Dengan posisi yang penting itu, proses pembelajaran tidak bisa dilakukan secara sembarangan, dibutuhkan banyak sekali landasan atau dasar yang kokoh dan kuat. Landasan-landasan tersebut pada hakekatnya yakni faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para guru pada waktu merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses dan hasil pembelajaran.
Landasan-landasan yang perlu mendapat perhatian guru dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu di sekolah dasar mencakup landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan praktis. Landasan filosofis dimaksudkan pentingnya aspek filsafat dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu, bahkan landasan filsafat ini menjadi landasan utama yang melandasi aspek-aspek lainnya. Perumusan tujuan/kompetensi dan isi/materi pembelajaran terpadu intinya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis. Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong pelaksanaan pembelajaran terpadu yang berbeda pula. Landasan psikologis terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan akseptor didik dan psikologi/teori belajar. Psikologi perkembangan dibutuhkan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran terpadu yang diberikan kepada siswa supaya tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan akseptor didik. Psikologi mencar ilmu memperlihatkan bantuan dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran terpadu tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya, dengan kata lain berkenaan dengan penentuan cara/metode pembelajaran. Landasan mudah berkaitan dengan kondisi-kondisi nyata yang pada umumnya terjadi dalam proses pembelajaran ketika ini sehingga juga harus mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu.
Secara filosofis, kemunculan pembelajaran terpadu sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat berikut: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3) humanisme. Ketiga aliran tersebut sanggup dijelaskan sebagai berikut.
1) Aliran progresivisme beranggapan bahwa proses pembelajaran pada umumnya perlu sekali ditekankan pada (a) pembentukan kreativitas, (b) dukungan sejumlah kegiatan, (c) suasana yang alamiah (natural), dan (d) memperhatikan pengalaman siswa. Dengan kata lain, proses pembelajaran itu bersifat mekanistis (Ellis, 1993). Aliran ini juga memandang bahwa dalam proses mencar ilmu siswa sering dihadapkan pada persoalan-persoalan yang harus mendapat pemecahan atau bersifat “problem solving”. Dalam memecahkan kasus tersebut, siswa perlu menentukan dan menyusun ulang pengetahuan dan pengalaman mencar ilmu yang telah dimilikinya. Dalam hal demikian maka terjadi proses berpikir yang terkait dengan “metakognisi”, yaitu proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman mencar ilmu dengan pengetahuan lain untuk menghasilkan sesuatu (Marzano et al, 1992). Terdapatnya kesalahan atau kekeliruan dalam proses pemecahan kasus atau sesuatu yang dihasilkan yakni sesuatu yang masuk akal lantaran hal itu merupakan cuilan dari proses belajar.
2) Aliran konstruktivisme melihat pengalaman pribadi siswa (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Sebab itu, pengalaman orang lain yang diformulasikan contohnya dalam suatu buku teks perlu dihubungkan dengan pengalaman siswa secara langsung. Aliran konstruktivisme ini menekankan bahwa pengetahuan yakni hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Suatu pengetahuan dianggap benar jikalau pengetahuan itu sanggup mempunyai kegunaan untuk menghadapi dan memecahkan problem atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak sanggup ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada siswa, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar, pengetahuan lebih dianggap sebagai proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus, terus berkembang dan berubah. Para penganut konstruktivisme menganggap bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah citra dari dunia kenyataan yang ada. Alat dan sarana yang tersedia bagi siswa untuk mengetahui sesuatu yakni inderanya. Siswa berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya dengan cara melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakan. Dari sentuhan indrawi itulah siswa membangun citra dunianya.
3) Aliran humanisme melihat siswa dari segi: (a) keunikan/kekhasannya, (b) potensinya, dan (c) motivasi yang dimilikinya. Siswa selain mempunyai kesamaan juga mempunyai kekhasan. Implikasi dari hal tersebut dalam acara pembelajaran yaitu: (a) layanan pembelajaran selain bersifat klasikal, juga bersifat individual, (b) pengukuhan adanya siswa yang lambat (slow learner) dan siswa yang cepat, (c) penyikapan yang unik terhadap siswa baik yang menyangkut faktor personal/individual maupun yang menyangkut faktor lingkungan sosial/kemasyarakatan.
Secara fitrah siswa mempunyai bekal atau potensi yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi wawasan tersebut dalam acara pembelajaran yaitu: (a) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi, (b) siswa disikapi sebagai subjek mencar ilmu yang secara kreatif bisa menemukan pemahamannya sendiri, (c) dalam proses pembelajaran, guru lebih banyak bertindak sebagai model, sobat pendamping, pemberi motivasi, penyedia materi pembelajaran, dan pemain drama yang juga bertindak sebagai siswa (pembelajar). Dilihat dari motivasi dan minat, siswa mempunyai ciri tersendiri. Implikasi dari pandangan tersebut dalam acara pembelajaran, yaitu: (a) isi pembelajaran harus mempunyai manfaat bagi siswa secara aktual, (b) dalam acara belajarnya siswa harus menyadari penguasaan isi pembelajaran itu bagi kehidupannya, dan (c) isi pembelajaran perlu diubahsuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan siswa.
Selain landasan filosofis di atas, pembelajaran terpadu juga dilandasi oleh beberapa pandangan psikologis. Hal ini disebabkan bahwa poses pembelajaran itu sendiri berkaitan dengan sikap manusia, dalam hal ini yaitu siswa. Dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungan belajarnya, baik lingkungan yang bersifat fisik, maupun lingkungan sosial. Melalui pembelajaran diharapkan adanya perubahan sikap siswa menuju kedewasaan, baik fisik, mental/intelektual, moral maupun sosial. Namun, perlu juga diingatkan bahwa tidak semua perubahan sikap siswa tersebut mutlak sebagai tanggapan intervensi dari proses pembelajaran, ada juga yang dipengaruhi oleh kematangan siswa itu sendiri atau efek dari lingkungan di luar kelas. Pembelajaran terpadu sebagai proses untuk pencapaian kompetensi siswa sudah niscaya berkenaan dengan proses perubahan sikap siswa tersebut di atas. Melalui pembelajaran terpadu diharapkan sanggup terbentuk tingkah laris gres berupa kompetensi-kompetensi konkret dan potensial dari para siswa serta kompetensi-kompetensi gres yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Psikologi yakni ilmu yang mempelajari tingkah laris manusia. Oleh lantaran itu, dalam melakukan pembelajaran terpadu harus dilandasi oleh psikologi sebagai pola dalam menentukan apa dan bagaimana sikap itu harus dikembangkan. Siswa yakni individu yang sedang berada dalam proses perkembangan, ibarat perkembangan fisik/jasmani, intelektual, sosial, emosional, dan moral. Tugas utama para guru yakni membantu mengoptimalkan perkembangan siswa tersebut. Apa yang diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya harus diubahsuaikan dengan tingkat-tingkat perkembangan siswa. Perkembangan-perkembangan yang dialami oleh siswa pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru harus selalu mencari upaya untuk sanggup membelajarkan siswa. Cara mencar ilmu dan mengajar yang bagaimana yang sanggup memperlihatkan hasil optimal dan bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan kajian/studi yang sistematik dan mendalam.
Pandangan-pandangan psikologis yang melandasai pembelajaran terpadu sanggup diuraikan sebagai berikut.
1) Pada dasarnya masing-masing siswa membangun realitasnya sendiri. Dengan kata lain, pengalaman pribadi siswa yakni kunci dari pembelajaran yang berarti bukan pengalaman orang lain (guru) yang ditransfer melalui banyak sekali bentuk media.
2) Pikiran seseorang intinya mempunyai kemampuan untuk mencari pola dan kekerabatan antara gagasan-gagasan yang ada. Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa untuk menemukan pola dan kekerabatan tersebut dari banyak sekali disiplin ilmu.
3) Pada dasarnya siswa yakni seorang individu dengan banyak sekali kemampuan yang dimilikinya dan mempunyai kesempatan untuk berkembang. Dengan demikian, tugas guru bukanlah satu-satunya pihak yang paling menentukan, tetapi lebih banyak bertindak sebagai “tut wuri handayani”.
4) Keseluruhan perkembangan anak yakni terpadu dan anak melihat dirinya dan sekitarnya secara utuh (holistik).
Landasan mudah dibutuhkan lantaran intinya guru harus melakukan pembelajaran terpadu secara aplikatif di dalam kelas. Sehubungan dengan hal ini maka dalam pelaksanaannya pembelajaran terpadu juga dilandasi landasan mudah sebagai berikut.
1) Perkembangan ilmu pengetahuan begitu cepat sehingga terlalu banyak warta yang harus dimuat dalam kurikulum.
2) Hampir semua pelajaran di sekolah diberikan secara terpisah satu sama lain, padahal seharusnya saling terkait.
3) Permasalahan yang muncul dalam pembelajaran kini ini cenderung lebih bersifat lintas mata pelajaran (interdisipliner) sehingga dibutuhkan perjuangan kolaboratif antara banyak sekali mata pelajaran untuk memecahkannya.
4) Kesenjangan yang terjadi antara teori dan praktik sanggup dipersempit dengan pembelajaran yang dirancang secara terpadu sehingga siswa akan bisa berpikir teoritis dan pada ketika yang sama bisa berpikir praktis.
Selain ketiga landasan di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu sebetulnya perlu juga dipertimbangkan landasan lainnya yaitu landasan sosial-budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kenapa? Karena pembelajaran selalu mengandung nilai yang harus sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Di samping itu, keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi juga oleh lingkungan. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya, harus menjadi dasar dan pola untuk mencapai keberhasilan pembelajaran terpadu. Landasan IPTEK dibutuhkan dalam pengembangan pembelajaran terpadu sebagai upaya menyelaraskan materi pembelajaran terpadu dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia IPTEK, baik secara pribadi maupun tidak langsung.
Dengan memahami banyak sekali landasan di atas, mudah-mudahan Anda semakin meyakini akan pentingnya pelaksanaan pembelajaran terpadu di sekolah dasar sehingga memperlihatkan dorongan kepada Anda untuk melakukan pembelajaran bahasa Indonesia secara terpadu.
Belum ada Komentar untuk "Landasan Teori Pembelajaran Bahasa Indonesia Secara Terpadu"
Posting Komentar