Instabilitas Politik Parlementer Sesuai Dengan Uuds 1950

Sistem pemerintahan parlementer sesuai dengan UUDS tahun 1950 itu ternyata tidak menghasilkan suatu kestabilan politik. Selama masa demokrasi liberal, Indonesia mengalami tujuh kali pergantian kabinet dan perdana menteri. Sesuai dengan konstitusi, dewan legislatif sanggup menjatuhkan kabinet apabila oposisi di dewan legislatif berpengaruh dan partai politik yang memerintah kehilangan dukungan. Kondisi ini menimbulkan sering terjadinya penjatuhan kabinet oleh dewan legislatif dan menjurus ke arah ketidak-stabilan politik. 
 Sistem pemerintahan parlementer sesuai dengan UUDS tahun  Instabilitas Politik Parlementer Sesuai Dengan UUDS 1950

Kabinet Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951) merupakan kabinet koalisi dimana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam dewan legislatif tidak turut serta. Salah satu karena PNI menolak turut dalam kebinet ini yaitu merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai. Inti kabinet yaitu Masyumi mencakup juga anggota-anggota yang non-partai. Banyak diantara anggota yang cukup punya nama dan dianggap hebat pada bidangnya, sehingga sesungguhnya kabinet ini termasuk berpengaruh formasinya. Tokoh-tokoh populer diantaranya yaitu Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Assaat (bekas pejabat presiden RI), Ir. Djuanda, dan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. 

Kegagalan kabinet ini, yaitu gagal dalam menuntaskan dan mengembalikan Irian Barat ke Indonesia. Irian Barat merupakan salah satu wilayah yang mempunyai arti penting bagi Indonesia. Penolakan Belanda untuk memasukan wilayah Irian Barat dalam penyerahan kedaulatan telah mengancam hasil KMB, semenjak PBB turun tangan dalam menangani perkara Irian Barat yang menjadi perebutan antara pemerintah Belanda dengan Indonesia, maka untuk menyelasaikan perkara tersebut pada tanggal 21 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB melaksanakan persidangan dimana salah satu akhirnya yaitu membahas mengenai Irian Barat yang akan dibicarakan kembali satu tahun kemudian. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjoyo I tahun 1954, perkara Irian Barat ini dibawa ke lembaga PBB tetapi tidak membawa hasil karena tidak memperoleh dukungan 2/3 anggotanya, begitu juga dengan Sidang Majelis Umum PBB berikutnya selalu mengalami kegagalan. Dari hal itu PBB dianggap tidak bisa mengatasi perkara Irian Barat sehingga perlu ditempuh jalan lain yaitu dengan cara konfrontasi. Inilah yang mosi tidak percaya terhadap dewan legislatif di kabinet. 

Setiap kabinet yang sedang berkuasa intinya mempunyai program-program untuk memperbaiki ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, tanggapan tiap-tiap kabinet tidak berumur panjang, program-progaram pembangunan tidak sanggup dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Kabinet Natsir dijatuhkan oleh mosi tidak percaya dari DPR, karena negosiasi soal Irian antara Indonesia dengan Belanda menemui jalan buntu. Selain itu, Peraturan Pemerintah no. 39/1950 yang dibuat oleh perdana Menteri Moh. Natsir menimbulkan dewan perwakilan rakyat didominasi oleh Masyumi sehingga PNI mengajukan mosi untuk mencabut peraturan tersebut. Mosi ini diterima baik oleh dewan perwakilan rakyat sehingga Kabinet Natsir jatuh.

Kabinet Sukiman jatuh karena Menteri Luar Negeri Subanjo menandatangani Mutual Security Act (MSA), yaitu persetujuan proteksi ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat. Persetujuan ini dianggap oleh pihak oposisi bahwa Indonesia memihak Blok Barat, yang bertentang dengan politik bebas aktif.

Kabinet Wilopo jatuh karena timbulnya kekecewaan pemerintahan kawasan yang merasa tidak ada keseimbangan dalam pembagian keuangan oleh pemerintah pusat. Juga pemerintah Wilopo mengizinkan perusahan absurd mengusahakan tanah-tanah perkebunan. Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan mosi tidak percaya dari DPR.

Kabinet Ali Sastroamijoyo, meskipun sukses dalam politik luar negeri dengan menyelenggarakan KAA, tetapi tidak berhasil dalam pembangunan ekonomi. Korupsi yang meningkat menimbulkan kepercayaan rakyat merosot. Hal ini ditambah dengan ketidakpuasan Angkatan Darat terhadap Menteri Pertahanan. Kesemuanya ini menimbulkan Ali Sastroamijoyo menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden.

Silih bergantinya kabinet ini menciptakan rakyat mendambakan pemilihan umum. Dengan diadakannya pemilu, golongan-golongan akan diwakili sesuai dengan kekuatan yang sebenarnya. Pada tahun 1955, di bawah Kabinet Burhanuddin Harahap, diselenggarakan pemilihan umum yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Pemilu 1955 itu berlangsung dua tahap. Yaitu:

  1. Pemilu untuk menentukan anggota dewan perwakilan rakyat pada tanggal 29 September 1955
  2. Pemilu untuk menentukan anggota Konstituante (Badan Pembentuk UUD) pada tanggal 15 Desember 1955.
Pada pemilu yang pertama itu diperebutkan 275 bangku dari 39 juta pemilih. Pada dikala itu penduduk RI berjumlah 85 juta jiwa. Sebagai hasil pemilu, PNI dan Masyumi masing-masing 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 kursi, PSII dan Parkindo masing-masing 8 kursi, Partai Kristen 6 kursi, PSI 5 kursi, dan partai-partai lain kurang dari 5 kursi.

Sebagai hasil dari pemilu pertama, dibentuklah kabinet yang merupakan koalisi PNI, Masyumi, dan NU dengan Ali Sastroamijoyo sebagai perdana menteri. Ternyata, kabinet ini pun menerima oposisi dari daerah-daerah di luar Jawa dengan alasan bahwa pemerintah mengabaikan pembangunan daerah. Hal ini menciptakan goyah Kabinet Ali Sastroamijoyo, dan pada tanggal 14 Maret 1957 kabinet ini mengembalikan mandatnya kepada presiden. Dengan demikian, jelaslah bahwa hasil pemilu 1955 tidak menimbulkan kestabilan politik sebagaimana yang diharapkan.

Pada bulan Februari 1957, Presiden Sukarno memanggil semua pejabat sipil dan militer ke Istana Negara. Dalam kesempatan itu Sukarno memberikan konsepsinya, yaitu: 1. Dibentuknya Kabinet Gotong Royong, terdiri atas semua partai dan golongan fungsional; 2. Dibentuknya Dewan Nasional terdiri atas wakil partai dan golongan funsional. Dewan ini berfungsi menasihati presiden.

Konsepsi Sukarno ini ditolak oleh Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan Partai Sosialis Indonesia(PSI). Partai-partai ini beropini bahwa mengubah struktur negara secara radikal harus melalui Konstituante. Akibat penolakan partai-partai terhadap Konsepsi Presiden, suhu politik semakin memanas. Gerakan-gerakan di kawasan semakin memuncak, dan kemudian meletuskan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangn Rakyat Semesta (Permesta).

Akhirnya, Presiden Sukarno mengumumkan keadaan darurat perang atau Staats van Oorlog and Beleg (SOB) bagi seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, Sukarno menunjuk Ir. Juanda untuk membentuk Kabinet gres pada tanggal 9 April 1957. Kabinet Juanda merupakan zaken kabinet, artinya kabinet yang menurut keahlian dan bukan didasarkan pada kekuatan partai politik. Hal ini berbeda dengan kabinet sebelumnya.

Belum ada Komentar untuk "Instabilitas Politik Parlementer Sesuai Dengan Uuds 1950"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel